Pergantian Tulisan “Mala’bi’” Menjadi “Toraya Masero” di Batas Kota Makale Tuai Kritik Masyarakat

TATOR, UPDATENEWS Kebijakan Bupati Tana Toraja dibawah kepemimpinan Zadrak Tombeg-Erianto Laso’ Paundanan yang mengganti tulisan identitas daerah di Batas Kota Makale dari Toraya Mala’bi’ menjadi “Toraya Masero” mendapat kritik dari berbagai pihak.

Pasalanya, perubahan yang dilakukan tanpa proses komunikasi publik ini dianggap terburu-buru dan tidak melalui mekanisme diskusi yang melibatkan masyarakat serta pemangku adat.

Tulisan “Mala’bi’” selama ini dikenal sebagai salah satu simbol penyambutan khas Tana Toraja yang mengandung nilai budaya, filosofi, dan identitas lokal. Banyak warga menilai pergantian ini bukan hanya mengubah tampilan fisik landmark, tetapi juga berpotensi menggeser makna budaya yang telah lama hidup di tengah masyarakat.

Selain dipersoalkan karena prosesnya yang dinilai sepihak, juga diilai bahwa istilah “Toraya Masero” tidak relevan dengan filosofi Toraja. Frasa tersebut tidak memiliki keterkaitan langsung dengan nilai-nilai dasar Toraja seperti siri’, kama’, rapasan, maupun misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate, yang selama ini menjadi landasan moral masyarakat Toraja. Hal ini membuat publik mempertanyakan dasar pemilihan istilah tersebut sebagai pengganti simbol resmi daerah.

Masyarakat menilai bahwa setiap perubahan terhadap simbol budaya harus melalui musyawarah yang melibatkan lembaga adat, tokoh budaya, pemerintah kecamatan, serta organisasi masyarakat. Kurangnya transparansi dan sosialisasi membuat publik mempertanyakan urgensi serta arah kebijakan ini.

Warga juga menyuarakan kekhawatiran bahwa perubahan sepihak dapat mengurangi rasa memiliki terhadap simbol-simbol budaya daerah. Bagi masyarakat Toraja, ikon seperti tulisan batas kota bukan sekadar penanda wilayah, tetapi representasi jati diri dan kearifan lokal.

Di media sosial, kritik bermunculan dari warga Toraja baik di dalam maupun luar daerah yang menilai perubahan tersebut tidak mencerminkan partisipasi publik dan tidak mempertimbangkan nilai filosofis Toraja. Mereka berharap pemerintah segera memberikan klarifikasi dan membuka ruang dialog terbuka.

READ  Ukiran Toraja Hiasi Salah Satu Ruang Rapat DPR RI

“Itu akibatnya kalau sesuatu itu tidak pernah didiskusikan dengan berbagai pihak yg berkompoten untuk berfilosofi. Karena pemerintah tidak mengerti peradaban,” tulis komentar salah satu akun di media sosial.

Ia berharap hal tersebut bisa menjadi perhatian khusus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Toraja dan Lembaga Adat Toraja (LAT).

Publik mendesak agar pemerintah daerah meninjau kembali kebijakan ini serta memastikan bahwa setiap keputusan terkait simbol budaya dilakukan dengan prinsip partisipatif, transparan, dan tetap menghormati identitas Toraja.

Editor         : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *